Kamis, 19 Maret 2015

Menikahi Wanita Yang Sedang Hamil

Menikahi Wanita Yang Sedang Hamil


Paket Umroh Bulan April 2015 , Untuk menjauhi aib maksiat hamil di luar nikah, terkadang masyarakat kita  justru sering menutupinya oleh maksiat lagi yang berlipat-lipat dan berkepanjangan yg semuanya itu dikarenakan kurangnya pemahaman ajaran Islam di dalam setiap keluarga di Indonesia (sampai saat artikel ini ditulis). Bila seorang laki-laki menghamili wanita, dia menikahinya dalam keadaan si wanita sedang hamil maupun meminjam orang untuk menikahi-nya dgn dalih untuk menutupi aib, nah apakah pernikahan yg mereka lakukan itu sah dan apakah anak yang mereka akui itu anak sah atau dia itu tidak memiliki ayah ? Mari kita simak pembahasannya !!

Wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan, baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau pun dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi dua syarat.


Pertama: Dia dan si laki-laki taubat dari perbuatan zinanya. Hal ini dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan menikah melalui wanita atau laki-laki dalam berzina, Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Laki-laki yg berzina tidak mengawini, kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini, melainkan oleh laki-laki yg berzina maupun laki-laki musyrik dan yang demikian itu, diharamkan atas orang-orang yang mu?min.” (QS: An Nur : 3.) Paket Umroh Bulan Ramadhan 2015

Syaikh Al-Utsaimin berkata


Syaikh Al-Utsaimin berkata, “Kita mengambil dari ayat ini satu hukum yaitu haramnya menikahi wanita yang berzina dan haramnya menikahkan laki-laki yang berzina, dengan arti, bahwa seseorang tidak boleh menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh bagi seseorang (wali) menikahkannya kepada putri-nya.”


Bila seseorang telah mengenal, bahwa pernikahan ini haram dilakuin tetapi dia memaksakan lalu melanggarnya, maka pernikahannya tidak sah dan apabila melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah perzinahan. Bila berlangsung kehamilan, maka si anak tidak dinasabkan pada laki-laki itu maupun dengan kata lain, anak itu tidak punya bapak. Orang yang menghalalkan pernikahan seperti ini, padahal dia tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya, maka dia dihukumi sebagai orang musyrik. Allah Subhanahu wa Ta\’ala berfirman, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (sekutu) selain Allah yang mensyariatkan tuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah”  (QS: Asy Syruraa : 21)

Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta\’ala menjadikan orang-orang yang membuat syariat bagi hamba-hamba-Nya selaku sekutu, berarti orang yang menghalalkan nikah dgn wanita pezina sebelum taubat adalah orang musyrik.
Namun, bila sudah bertaubat, maka halal menikahinya, tentunya bila syarat ke dua berikut terpenuhi.


Kedua: Dia harus beristibra (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haidl, bila tidak hamil, dan bila ternyata hamil, maka sampai melahir-kan kandungannya

.
Rasulullah bersabda: “Tidak boleh digauli (budak) yang sedang hamil, sampai ia melahir-kan dan (tidak bisa digauli) yang tidak hamil, sampai dia beristibra? dengan satu kali haid. “ (Lihat Mukhtashar Ma\’alimis Sunan 3/74, Kitab Nikah, Bab : Menggauli Tawanan (yang dijadikan budak), Al Mundziriy berkata : Di Dalam isnadnya ada Syuraik Al Qadliy, dan Al Arnauth menukil dari Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At Talkhish : Bahwa isnadnya hasan, dan dishahihkan oleh Al Hakim sesuai syarat Muslim. Dan hadits ini banyak jalurnya sehingga dengan semua jalan-jalannya menjadi kuat dan shahih.(Lihat Taisir Fiqhi catatan kakinya 2/851.) )

Di dalam hadits di atas, Rasulullah melarang menggauli budak dari tawanan perang yg sedang hamil sampai melahirkan serta yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.

Juga sabdanya: Artinya, “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) pada semaian orang lain.”  (Abu Dawud, lihat, Artinya: ‘alimus Sunan 3/75-76.)

Mungkin sebagian orang mengatakan, bahwa yang dirahim itu merupakan anak yang terbentuk dari air mani si laki-laki yang menzinainya yang hendak menikahinya. Jawabnya adalah apa yang disebutkan oleh Al Imam Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asyaikh , “Tidak boleh menikahi-nya sampai dia taubat dan selesai dari iddahnya dgn melahirkan kandungannya, sebab perbedaan dua air (mani), najis dan suci, baik dan buruk dan karena bedanya status menggauli dari sisi halal dan haram.”


Ulama-ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah


Ulama-ulama yg tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah menga-takan, ?Dan apabila dia (laki-laki yg menzinainya sehabis dia taubat) mau menikahinya, maka dia wajib menung-gu wanita itu beristibra? dengan satu kali haidl sebelum melangsungkan akad nikah dan bila ternyata dia hamil, maka tidak dapat melangsungkan akad nikah dengannya, kecuali setelah dia melahirkan kandungannya, berdasar-kan hadits Nabi  yang melarang seseorang menuangkan air (maninya) di persemaian orang lain.

Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina tanpa beristibra terlebih dahulu, sedangkan dia mengetahui bahwa pernikahan ini tidak boleh dan si laki-laki serta si wanita pula mengerti bahwa itu adalah haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Apabila keduanya melangsungkan hubungan badan maka itu adalah zina. Dia wajib taubat dan pernikahannya diharuskan diulangi, bila telah selesai istibra? dengan satu kali haidh dari hubungan badan yang terakhir atau setelah melahirkan. Paket Umroh Murah Bulan Desember 2015


Sumber Rujukan:


    Minhajul Muslim.

    Taisiril Fiqhi Lijami’il Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, Ahmad Muwafii 2/584, Fatawa Islamiyyah 3/247, Al Fatawa Al Jami’ah Lil Mar’ah Al Muslimah 2/5584.

    Fatawa Islamiyyah 3/246.

    Syiakh Al Utsaimin di dalam Fatawa Islamiyyah 3/246.

    Taisiril Fiqhi Lijami’il Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, Ahmad Muwafii 2/583, Majmu Al Fatawa 32/110.

    Lihat Mukhtashar Ma’alimis Sunan 3/74, Kitab Nikah, Bab : Menggauli Tawanan (yang dijadikan budak), Al Mundziriy berkata : Di Dalam isnadnya ada Syuraik Al Qadliy, dan Al Arnauth menukil dari Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At Talkhish : Bahwa isnadnya hasan, dan dishahihkan oleh Al Hakim sesuai syarat Muslim. Dan hadits ini banyak jalurnya sehingga dengan semua jalan-jalannya menjadi kuat dan shahih.(Lihat Taisir Fiqhi catatan kakinya 2/851.)

    Abu Dawud, lihat, Artinya: ‘alimus Sunan 3/75-76.

    Fatawa Wa Rasail Asy Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim 10/128.